Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Desember 2012

makalah kebijakan publik








disusun oleh:
I Ketut Yuda Suartana
21. 0880
A - 3




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang “Kebijakan Impor Beras”.
Dalam penyusunan makalah ini, saya banyak mendapat tantangan dan hambatan. Akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Mataram, Oktober  2011

       Penulis









DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................   i
DAFTAR ISI .................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................   1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................   1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................   1
1.3 Tujuan ......................................................................................................   2
BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................   3
2.1 Impor beras   ............................................................................................   3
2.2 Dampak Impor beras ..............................................................................   4
2.3 Solusi  (Mengganti Impor dengan Subsidi) .............................................  11
BAB III PENUTUP ......................................................................................  14
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................  14
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................  15





 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karena keberadaaanya sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia, beras memiliki sejarah panjang dalam kebijakan ekonomi politik Indonesia. Pada masa sebelum kemerdekaan, campur tangan pemerintah kolonial Belanda untuk menjamin keberadaan beras dengan harga yang terjangkau selalu dilakukan. Pemerintah kolonial Belanda mengintervesi kecukupan pasokan beras dengan harga terjangkau bagi komoditi ini melalui berbagai cara. Pada sisi stabilitas harga, pemerintah kolonial dari waktu ke waktu membuka keran impor bila dibutuhkan dan mentransportasikannya lebih lanjut pada daerah kepulauan yang membutuhkan, serta mendirikan satu lembaga yang berperan menstabilisasi harga beras pada tahun 1939, yang sesungguhnya cikal bakal dari BULOG saat ini. Setelah kemerdekaan dan sampai saat ini pun beras terus menjadi komoditi sosial politik strategis bangsa Indonesia.
Jadi untuk memenuhi kebutuhan pangan didalam negeri maka pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras,namun impor beras tidak selalu berdampak baik ada juga pihak yang merasa dirugikan seperti petani. Kenapa bisa petani yg mengalami kerugian? Jawaban atas pertanyaan itu akan diulas pada bab II.
1.2 Rumusan Masalah
            Makalah ini membahas mengenai kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah indonesia dan untuk lebih mengetahui dampak langsung yang dirasakan dengan adanya kebijakan ini.


1.3 Tujuan
1. Mengetahui kebijakan impor beras di Indonesia.
2. Mengetahui dampak dari kebijakan tersebut.
3. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen Kebijakan Publik.















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Impor beras
Pemerintah (sebagai representasi negara) memiliki kewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, baik dari segi jumlah beras maupun keterjangkauan harga beras. Dengan kata lain pemerintah harus menjamin bahwa jumlah beras di pasar cukup memenuhi kebutuhan semua masyarakat dengan harga terjangkau.
Pemenuhan kebutuhan beras, dari segi jumlah, bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu menaikkan produksi pertanian dalam negeri, atau cara kedua dengan melakukan impor beras. Dalam hal ini pemerintah cenderung memilih melakukan impor daripada harus meningkatkan produksi dalam negeri. Menaikkan produksi pertanian merupakan kegiatan yang relatif sulit serta membutuhkan waktu lama. Sulit karena meliputi berbagai kegiatan seperti penyediaan pupuk murah, peningkatan teknologi pertanian, sarana penyimpanan yang memadai, saluran distribusi, dan banyak hal lain.
Kompleksitas masalah yang dihadapi dalam peningkatan produksi pertanian menjadikan peningkatan produksi sebagai proyek jangka panjang serta berbiaya tinggi. Peningkatan produksi pangan tidak bisa dicapai dengan cepat, melainkan secara bertahap. Apalagi sebagai sebuah proyek jangka panjang, peningkatan produksi pertanian memerlukan ketersambungan (kontinuitas) kebijakan pemerintahan.
Artinya, pemerintah yang akan datang harus rela dan memiliki komitmen untuk meneruskan kebijakan pemerintah sebelumnya (yang mencanangkan proyek peningkatan produksi pertanian).

Sedangkan jika memilih jalan impor, permasalahan yang dihadapi pemerintah lebih sederhana. Impor adalah cara instan karena begitu pemerintah mengeluarkan uang, sejumlah beras akan diterima pemerintah. Lebih gampang lagi, impor tidak memerlukan perencanaan lintas sektoral (apalagi lintas generasi) serumit dibandingkan proyek peningkatan hasil produksi.
Dalam kondisi normal, di pasar berlaku hukum penawaran dan permintaan. Kelangkaan beras serta merta menaikkan harga beras. Untuk mengontrol harga beras pada level yang diinginkan, pemerintah melakukan intervensi pasar. Saat harga beras di pasaran mulai merambat naik pemerintah melakukan operasi pasar, yaitu menjual dalam jumlah besar beras-beras persediaan pemerintah. Setelah harga berangsur turun, pemerintah menghentikan operasi pasar. Dengan demikian harga beras akan selalu stabil pada level yang diinginkan pemerintah. 
Di sini dapat dilihat bahwa ketersediaan (stok) beras pemerintah sangat menentukan kemampuan intervensi terhadap pasar. Untuk menjamin ketersediaan stok beras, pemerintah melakukan impor beras dari Thailand dan Vietnam sebanyak 210.000 ton dengan harga pada kisaran Rp 3.000.
Harga gabah merosot karena pasar dalam negeri memiliki kelebihan stok gabah. Produksi gabah petani mencapai 54 juta ton gabah kering giling (GKG). Jika dijadikan beras akan  encapai jumlah 35 juta ton beras. Sementara kebutuhan konsumsi hanya 33 juta ton. Kelebihan stok sebanyak 2 juta ton yang harusnya dicarikan solusi pemasaran, justru diperparah pemerintah dengan memasukkan 210.000 ton beras impor.  Alasan pemerintah mengimpor beras sebagai antisipasi kebutuhan konsumsi memang bijaksana. Tetapi sebenarnya Bulog, sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam penyediaan beras, tidak harus mengimpor dari luar negeri. Lebih bijak jika Bulog membeli surplus beras petani pada waktu panen. Kongkretnya dengan membeli stok beras petani yang disebut di muka sebanyak 2 juta ton.
2.2 Dampak Impor Beras
Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang sangat luas yang jumlah penduduknya mencapai 220 juta jiwa. Luas lahan untuk pertanian sekitar 107 juta hektar dari total luas daratan Indonesia sekitar 192 juta hektar,  tidak termasuk Maluku dan Papua, sekitar 43,19 juta hektar telah digunakan untuk lahan sawah, perkebunan, pekarangan, tambak dan ladang, sekitar 2,4 juta hektar untuk padang rumput, sekitar 8,9 juta hektar untuk tanaman kayu-kayuan, dan lahan yang tidak diusahakan seluas 10,3 juta ha. Pemerintah dalam kaitannya dengan program RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan), telah bersedia menyediakan 15 juta hektar untuk lahan pertanian abadi. (Republika, 25/2/2008) Sehingga sebagian besar dari penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, khususnya petani padi. Karena sebagian besar penduduk Indonesia makanan pokoknya adalah beras.
Dari penjelasan di atas, tidak mengherankan kalau pekerjaan sebagai petani paling besar jumlahnya. Sampai pada tahun 2003 saja jumlah petani di Indonesia  telah mencapai 25,6 juta rumah tangga. Tetapi, sayangnya dari jumlah tersebut, 13,7 juta rumah tangga adalah petani gurem (petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 ha). (Pande Radja Silalahi dalam Suara Karya, 11/01/2006) Sampai saat pertanian masih menjadi sektor utama dalam perekonomian nasional. Dengan hal-hal tersebut, sebenarnya profesi petani sangat cocok dan menguntungkan bagi penduduk indonesia.
Namun, kenyataannya hal tersebut sulit terjadi di Indonesia. Setiap panen justru yang terdengar adalah keluhan petani soal harga gabah yang selalu murah. Jangankan untung, bisa mengembalikan biaya penggarapan sawah saja sudah bersyukur. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak mampu menjaga berlakunya harga dasar yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 32/1998, sehingga petani menerima harga gabah jauh di bawah harga dasar. Tujuan dari kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) adalah agar petani padi menerima harga gabah yang layak, sehingga mereka menerima insentif untuk meningkatkan produktivitasnya. Namun ternyata hal itu tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah.
Dengan keberadaan tengkulak, seharusnya bisa membantu para petani. Karena petani tidak perlu susah-susah memasarkan padinya. Para tengkulak akan mendatangi mereka dan membeli hasil panenannya. Dengan begitu para petani bisa terbantu masalah penjualan, karena dengan hasil panen yang tidak terlalu besar tidak mungkin bagi para petani untuk memasarkan sendiri hasil panennya. Selain itu tengkulak juga sangat mengutungkan para pengusaha padi mitra BULOG dan BULOG itu sendiri, karena sistem distribusi padi menjadi lebih efisien. Namun walaupun demikian, ternyata para tengkulak ini bisa dan sering menciptakan harga sendiri sesuai keinginan mereka. Mereka membeli gabah para petani dengan harga yang sangat rendah dibawah HPP yang telah ditetapkan pemerintah. Sehingga yang terjadi, bukannya membantu para petani tetapi malah semakin memperburuk kondisi perekonomian para petani.
Saat ini HPP (Harga Pembelian Pemerintah) adalah Rp 2.000,- tetapi di tingkat tengkulak, gabah hanya dihargai Rp 1.600,- sampai Rp 1.800,- (Jawa Pos, 25/02/2008). Namun sekarang ini Pemerintah telah resmi menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) atas gabah dan beras melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 1/2008 tentang Kebijakan Perberasan yang sekaligus merevisi Inpres No 3/2007. Berdasar Inpres tersebut, HPP atas gabah kering panen (GKP) di tingkat petani ditetapkan Rp2.200 per kg (naik Rp200), dan harga gabah kering giling (GKG) di gudang Bulog menjadi Rp2.840 per kg (naikRp240 per kg). Untuk HPP beras di gudang Bulog dinaikkan Rp300 menjadi Rp4.300 per kg. Harga pembelian gabah dan beras di tiga luar kualitas tersebut ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pertanian.
Walaupun demikian, dengan berbagai alasan, para petani masih tetap memilih menjual gabahnya kepada tengkulak daripada kepada KUD atau badan-badan yang telah ditunjuk pemerintah.
Dalam hal ini, BULOG yang seharusnya bertugas dalam pembelian gabah hasil panen dari petani ternyata kurang menjalankan fungsinya. Selama ini, pemerintah melalui BULOG membeli gabah dan beras bukan dari petani. Akan tetapi dari pedagang beras, yang terkonsentrasi di tangan beberapa distributor besar (atau tengkulak), yang bertindak sebagai oligopolis pasar. Jumlah penjual yang sangat terkonsentrasi ini menyebabkan setiap kenaikan harga gabah/beras, yang merupakan peningkatan defisit APBN, akan lebih banyak jatuh bukan pada petani akan tetapi sekedar dinikmati segelintir pedagang.
Ilustrasi menarik tentang kekuatan oligopoli pedagang beras ini dengan sangat gamblang dijelaskan dalam satu tulisan Deputi Menko Perekonomian, Bayu Krisnamurthi, di Harian Republika (24/01/2006). Menurut Bayu, Bulog hanya mampu menyerap sekitar 10 ton dari surplus yang dikabarkan mencapai 2,7 juta ton pada tahun 2005. Selebihnya ditahan oleh para pedagang untuk berbagai alasan.
Jatuhnya harga gabah lokal itu juga tak terlepas dari membanjirnya beras impor dan selundupan di berbagai daerah karena tak ada pengamanan yang baik. (Suara Merdeka, 21/09/2002). Kebijakan impor harusnya ditempatkan sebagai residual atau menutupi defisit kebutuhan beras dalam negeri. Tetapi kenyataannya, ketika musim panen raya tiba beras impor yang lebih murah membanjiri tanah air, sehingga harga gabah pun turun drastis.
Mulai dari tahun 1984 sampai dengan 1993, Indonesia mengimpor rata-rata 160 ribu ton beras per tahun. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi rata-rata 1,10 juta ton/ pertahun pada periode 1994-1997. Pada masa krisis 1998-2000 jumlah ini meningkat lagi menjadi 4.65 juta tahun. Walau kemudian ada sedikit penurunan, sepanjang 2001-2005, impor beras bertahan di atas 2 juta ton pertahunnya, yang membuat Indonesia praktis selalu berada pada lima besar negara pengimpor beras. (Supadi dalam M Ikhsan Modjo, Kajian Monash Indonesian Islamic Student Westall: 2006)
Masalah besar muncul kembali ketika harga pasar naik, konsumen kebingungan, tetapi petani pun ikut bingung karena kenaikan harga tidak berimbas pada kenaikan harga gabah. Kenaikan harga di tingkat konsumen ternyata tidak sebesar kenaikan harga jual mereka ke tengkulak/distributor. Misalnya naik Rp 500 di konsumen, paling hanya naik Rp 100 di sisi petani. Belum lagi karena harga pupuk dan alat pertanian tiba-tiba juga ikut naik, seakan tidak rela membiarkan petani menerima kelebihan dan berkah. Indikasinya adalah harga tidak diatur oleh supply (petani) dan demand (konsumen), karena jelas mekanisme pasarnya terdistorsi sekali. (Ekonomi-Nasional, 03/01/2007)
Pelaku ekonomi yang paling merasakan dampak langsung impor beras adalah importir beras dan kaum petani. Hanya saja dampak yang dirasakan bertolak belakang. Importir memperoleh keuntungan dari selisih harga impor yang lebih rendah dibandingkan harga domestik.
Petani mengalami kerugian akibat penurunan harga beras karena naiknya penawaran. Dampak psikologis juga dialami kaum petani. Mereka tidak termotivasi menanam padi, membiarkan sawahnya terbengkalai. Padahal tidak mudah bagi mereka memperoleh pekerjaan lain. Petani perlu memenuhi kebutuhannya, tidak adanya penghasilan bisa mendorong melakukan tindakan kriminalitas.
Pelaku ekonomi lain, pemerintah dan masyarakat, tidak merasakan dampaknya secara langsung. Pemerintah akan memperoleh pemasukan hanya apabila mengenakan tarif impor / pajak terhadap beras yang diimpor. Namun tidak mendapatkan apa pun jika tidak memberlakukan tarif.
Konsumen, yaitu masyarakat, tidak akan merasakan keuntungan atau kerugian yang berarti karena jumlah konsumen yang begitu banyak. Betapapun besar keuntungan / kerugian akibat impor beras yang dialami konsumen secara keseluruhan namun nilainya bagi masing-masing konsumen secara individu relatif kecil bahkan tak terasa sama sekali.  Dengan demikian dua pelaku ekonomi yang berhadapan karena perbedaan kepentingan adalah importir beras dan kaum petani.
Jumlah importir beras yang relatif sedikit (sekitar 20-an pemain) memperkuat koordinasi di antara mereka untuk mengadakan pendekatan dan lobi kepada pejabat pemerintah guna menurunkan peraturan bagi kepentingannya. Keuntungan yang diciptakan akan sangat berarti bagi kelompok mereka karena hanya dinikmati segelintir anggotanya.
Di sisi lain, jumlah petani yang begitu banyak dan sebagian besar merupakan masyarakat kecil, menyebabkan posisi mereka lemah di hadapan penguasa (pemerintah). Tindakan-tindakan aktif dalam rangka mencegah atau pembatalan aturan pemerintah mengenai impor beras hanya akan merugikan mereka sendiri.
Idealnya, pemerintah harus melindungi sektor-sektor perekonomian yang menyerap banyak tenaga kerja. Khususnya tenaga kerja nonterampil berupah rendah yang sulit menemukan pekerjaan lain seandainya mereka kehilangan pekerjaan yang sudah ada. Contohnya kaum petani. Namun kenyataannya pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang merugikan bagi kaum petani.
Fenomena ini dalam ekonomi internasional dapat dijelaskan dengan teori kelompok penekan (pressure group theory). Teori ini pada intinya mengemukakan, dalam kenyataan yang menerima keuntungan atas kebijakan pemerintah dalam perdagangan internasional bukan sektor ekonomi yang menyerap banyak tenaga kerja, melainkan kelompok industri yang terorganisir serta memiliki tradisi politik yang cukup kuat.
Melalui organisasi yang mapan, mereka lebih mampu memperjuangkan kepentingannya dibanding sektor atau kelompok yang tidak ditunjang struktur organisasi yang kokoh.
Kelompok importir beras karena sudah menikmati keuntungan yang berlimpah akan berusaha sekeras mungkin mempertahankannya. Hal ini akan semakin menjadi-jadi apabila pemerintah enggan mengubah kebijakan perdagangan. Keengganan disebabkan bisa menimbulkan perubahan drastis dalam "distribusi pendapatan" terlepas dari siapa yang diuntungkan atau yang dirugikan.
Penyempitan lahan pertanian telah menenggelamkan para petani sampai batas leher mereka, sementara impor adalah riak kecil yang akan seutuhnya menenggelamkan petani. Secara sederhana impor dan kemiskinan petani akan
berkeliling dan dalam lingkaran setan sebagai berikut:






Asumsi pemerintah bahwa akan terjadi kekurangan pangan menjadi dasar kebijakan melakukan impor beras. Impor yang dilakukan berhasil menurunkan harga beras di pasaran. Tetapi turunnya harga beras (yang tidak diimbangi subsidi bagi petani) membuat petani rugi. Kerugian (dalam arti harga jual lebih rendah dari biaya produksi yang dikeluarkan) membuat pertanian bangkrut.  Akhirnya (sebagian) petani memutuskan beralih profesi dan/atau mengkonversi lahan mereka ke bidang lain yang dianggap lebih menguntungkan secara finansial.
Pada musim tanam berikutnya, berkurangnya petani serta terjadinya konversi lahan menimbulkan kekurangan pangan. Demi menutup kekurangan pangan, pemerintah kembali melakukan impor beras. Tentunya jumlah beras yang diimpor menjadi lebih besar dari sebelumnya.

2.3 Solusi  (Mengganti Impor dengan Subsidi)
Menurunkan harga beras untuk menjamin kebutuhan masyarakat luas tidak bisa dilakukan dengan menekan kesejahteraan petani. Petani adalah juga rakyat yang memiliki hak sama untuk sejahtera dan mendapat untung dari usaha yang mereka lakukan. Artinya, harga beras yang relatif tinggi (terdapat selisih positif antara biaya produksi dengan harga pasaran) dan menguntungkan petani seharusnya tidak dilihat sebagai faktor yang merugikan kepentingan masyarakat lain.
Pemerintah harus bersikap adil, di satu sisi melindungi ketersediaan dan keterjangkauan beras bagi masyarakat luas, sementara di sisi lain juga harus menjaga kesejahteraan (tingkat keuntungan jual beli) petani. Maka yang harus dilakukan adalah memberikan subsidi kepada petani lokal. Subsidi yang diberikan, akan menguntungkan dan mengurangi biaya produksi yang harus dikeluarkan petani. Serta, di sisi lain akan membuat harga beras di pasaran relatif rendah. Dengan demikian masyarakat luas dapat menikmati beras dengan harga terjangkau tanpa harus mengorbankan petani. Bukankah tujuan negara memang mencapai bonum publicum?
Kebijakan impor harus segera dihentikan dan diganti dengan kebijakan jangka panjang peningkatan hasil pertanian. Peralihan dari kebijakan impor menuju kebijakan peningkatan hasil produksi tidak semudah membalik telapak tangan. Perubahan ini hanya bisa dilakukan secara bertahap. Untuk sementara, sebelum benar-benar ditemukan format pembangunan pertanian yang tepat, subsidi harus diberikan kepada petani. Subsidi ditujukan untuk mengurangi biaya produksi yang meliputi penyediaan bibit padi, pupuk, serta peralatan pendukung lainnya.
Masih dalam Sensus Pertanian 2003, sejumlah 25% dari petani mengaku kesulitan mendapat sarana produksi, seperti pupuk dan pestisida. Sensus juga
menunjukkan bahwa kesulitan tersebut diakibatkan mahalnya harga (59%), lokasi terpencil (17%), sarana produksi tidak tersedia (13%), dan sisanya karena alasan lainlain.
Dengan adanya subsidi sarana produksi (yang didukung penghentian impor beras) petani (gurem) akan mendapat keuntungan dari hasil pertaniannya. Meskipun keuntungannya relatif kecil, dengan pengelolaan yang tepat akan bisa dipergunakan untuk mematahkan siklus kemiskinan petani. Pematahan siklus kemiskinan petanidilakukan dengan mengarahkan penggunaan keuntungan tersebut ke dalam sektoryang paling strategis, yaitu (pembiayaan) pendidikan. Sebagai ilustrasi tentang intervensi pendidikan dalam mematahkan kemiskinandan meningkatkan kesejahteraan keluarga petani, bisa disimak bagan berikut:
 
Kita ambil contoh keluarga petani berlahan o,5 ha yang memiliki tiga orang anak. Kewajiban petani (sebagai orang tua) adalah mewariskan sawah seluas 0,5 ha dengan adil kepada ketiga anaknya. Jika dilakukan, pewarisan ini akan mengakibatkan luas lahan yang dikuasai masing-masing anak hanya 0,166 ha. Penguasaan yang semakin menyempit, mengakibatkan mereka semakin terpuruk dalam kemiskinan karena tidak mencukupinya penghasilan pertanian untuk bertahan hidup.
Dengan campur tangan pemerintah dalam subsidi pertanian (apalagi jika diimbangi dengan subsidi pendidikan), keluarga petani tersebut dapat mengirimkan anak kedua dan anak ketiga ke sekolah. Dengan asumsi bahwa sekolah mampu meningkatkan ketrampilan murid-muridnya, maka kedua anak petani akan mampu bersaing di luar sektor pertanian. Mereka akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan tentu saja mengalami peningkatan penghasilan.
Di sisi lain, karena anak kedua dan anak ketiga bekerja di sektor non-pertanian, maka lahan pertanian keluarga seluas 0,5 ha dikelola sepenuhnya oleh anak pertama saja. Dengan demikian pemecahan lahan pertanian tidak terjadi. Meskipun luas lahan yang sama tidak membuat anak pertama menjadi lebih sejahtera, namun setidaknya dia tidak terpuruk menjadi lebih miskin.
Sementara pada anak kedua dan ketiga yang bekerja di sektor non-pertanian, tentu memiliki penghasilan yang (relatif) lebih besar. Penghasilan ini bisa diarahkan sebagai investasi pertanian di lahan keluarga mereka. Investasi yang dilakukan terutama dalam bidang peningkatan teknologi pertanian.
Pertama, jika kita asumsikan mayoritas petani di Indonesia melakukan hal yang sama, maka peningkatan produksi padi akan menciptakan surplus beras nasional. Stok berkelimpahan akan menjamin kecukupan pangan masyarakat.
Kedua, bagi keluarga petani itu sendiri, peningkatan produksi memberikan keuntungan finansial. Keuntungan ini bisa diinvestasikan kembali kepada sektor pendidikan. Dengan demikian siklus peningkatan kualitas pendidikan dan ketersediaan pangan akan terus berulang dengan derajat hasil yang semakin membesar.





BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
          Tindakan pemerintah mengambil kebijakan impor beras sangat tidak tepat karena lebih banyak menimbulkan kerugian bagi negara walaupun tujuannya menjaga stabilitas pangan namun adanya alternatif lain seperti memberikan subsidi kepada para petani sehingga bisa meningkatkan produksi padi.
Semua kajian yang berupaya menemukan cara memutus lingkaran kemiskinan petani tidak ada artinya tanpa keinginan serius dari pemerintah untuk menjalankan. Yang paling dibutuhkan dari pemerintah adalah keberpihakan ideologis kepada petani. Pemerintah harus memiliki good will untuk melepaskan petani dari jeratan kemiskinan struktural, bukannya justru mengabaikan mereka demi memenuhi sopan-santun hubungan perdagangan internasional.

Biaya-biaya manusiawi yang paling menekan adalah yang berkenaan dengan kekurangan dan penderitaan fisik. Tuntunan moral yang paling mendesak dalam pengambilan kebijaksanaan politik adalah suatu perhitungan kesengsaraan.”

















DAFTAR PUSTAKA
www.cybernews.com
www.Jakartrapost.com
www.hariankompas.com









disusun oleh:
I Ketut Yuda Suartana
21. 0880
A - 3




Selasa, 23 Oktober 2012

makalah otonomi daerah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
          Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Indonesia membuat suatu kebijakan untuk daerah. Yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan rumah tangganya sendiri, dengan tujuan mensejahterakan masyarakat. Kebijakan ini dikenal dengan Otonomi Daerah. Terbentuknya Otonomi Daerah memiliki sejarah yang sangat panjang mulai dari jaman kolonial sampai dengan sekarang. Dimulai dari jaman kolonial yang memberi peluang untuk daerah dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Pada jaman penjajahan Jepang semua daerah otonom disebukan memiliki sifat bersifat misleading. Kemudian pada saat kemerdekaan dan pasca kemerdekaan banyak sekali dikeluarkan undang-undang untuk mengatur Otonomi Daerah.
Pada era ini Indonesia juga harus memikirkan hal yang strategis, terutama pemerintah yang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini pemerintah pusat yang memiliki urusan yang terlau banya sehingga tidak satupun yang terselesaikan dengan baik, pusat mengurusa sampai pada urusan yang bersifat tekhnis yang ada di daerah. Pemerintah seharusnya memikirkan yang strategis dan terfokus. Dengan hal tersebut tujuan dapat tercapai.
Hal yang sama sepertinya mulai terulang lembali, kalau kita memperhatikan pengelolaan pemerintahan yang ada saat ini ada usaha untuk sentarlisasi kembali meskipun dengan cara yang berbeda sentarlisasi yang berbeda pada orde baru, menurut wawan mas’udi sentralisasi yang ada pada saat ini berada pada sofwer, mencontohkan pada penganggaran. Disadari atau tidak bahwa watak dasar pemerintah di indonesia adalah sentralistik, sehingga upaya pengelolaan pemerintahan yang sentralistik bisa saja terjadi, meskipun pada konsep otonomi daerah.

           
1.2 Tujuan

1. Mengenal apa itu Otonomi Daerah.
2. Mengetahui Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah yang ada di Indonesia
3. Pelaksanaan Otonomi di Indonesia saat ini.






BAB II
PEMBAHSAN

2.1 Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan  masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.


A. Warisan Kolonial
          Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).
                Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.


B. Masa Pendudukan Jepang
          Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
                                                                                               
C. Masa Kemerdekaan
1.      Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)      Provinsi
2)      Kabupaten/kota besar
3)      Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
2.      Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a)      Propinsi
b)      Kabupaten/kota besar
c)      Desa/kota kecil
d)     Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
3.      Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1)      Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2)      Daerah swatantra tingkat II
3)      Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4.      Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
5.      Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)      Provinsi (tingkat I)
2)      Kabupaten (tingkat II)
3)      Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6.      Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
1)      Provinsi/ibu kota negara
2)      Kabupaten/kotamadya
3)      Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
7.      Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun  1999 adalah sebagai berikut:
1)      Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2)      Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
3)      Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4)      Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
8.      Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
                  Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang  dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.

2.3 Otonomi Daerah Sebelum Reformasi.  

Sejak berdirinya  Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah telah mengambil langkah-langkah penting dalam rangka perujudan cita desentralisasi. Langkah-langkah penting yang diambil pemerintah itu terlihat dari lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yang masing masing dengan sistemnya sendiri.
Undang-Undang No. 1/1945 merupakan undang-undang pertama yang mengatur mengenai pemerintahan daerah. Dalam UU ini antara lain ditetapkan :
(a) Komite Nasional Daerah diadakan, kecuali di Daerah Surakarta dan Yogyakarta, di Kresidenan, di Kota berotonomi, Kabupaten dan lainlain Daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri ( Pasal 1).
(b)  Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersamasama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga Daerahnya, asal tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya (Pasal 2)
(c)  Oleh Komite Nasional dipilih beberapa orang, sebanyakbanyaknya 5 orang sebagai Badan Executive, yang bersamasama dengan dan pimpinan oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan seharihari dalam Daerah itu (Pasal 3).
Berdasarkan UU No. 1/1945 inilah Komite Nasional Daerah berubah atau menjelma menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan diketuai oleh Kepala Daerah, serta mempunyai tugas mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah Pusat dan peraturan Pemerintah Daerah yang lebih tinggi kedudukannya.Meskipun Badan Perwakilan Rakyat Daerah diketuai Kepala Daerah, tetapi Kepala Daerah bukanlah merupakan anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan karenanya tidak mempunyai hak suara.
Dalam prakteknya pelaksanaan UU No. 1/1945 menimbulkan berbagai persoalan, karena UU ini tidak diberi Penjelasan. Sehingga terjadi kesimpang siuran dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UU tersebut. Akhirnya kementerian dalam negeri memberikan penjelasan tertulis terhadap UU No. 1/1945.Penjelasan tertulis Kementerian Dalam Negeri itu memuat keterangan-keterangan mengenai tujuan diadakannya UU No. 1/1945. Tujuan yang pertama bagi diadakannya UU ini adalah untuk menarik kekuasaan pemerintahan dari tangan Komite Nasional Daerah (KND) dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
(a)      Semua KND dibentuk sebagai pembantu pemerintah daerah dimasa kekuasaan sipil, pangrehpraja dan polisi dan alat-alat pemerintahan lainnya masih ditangan Jepang.
(b)   Setelah kekuasaan sipil dapat direbut dari tangan Jepang, KND dalam prakteknya mengganti Pangrehpraja dan polisi di samping Pangrehpraja dan polisi sebenarnya yang menjadi pegawai Republik Indonesia.
(c)      Dualisme yang demikian itu sangat melemahkan kedudukan dan kekuasaan Pangrehpraja dan polisi sebagai alat-alat pemerintahan yang resmi. (The Liang Gie)

Selanjutnya disebutkan bahwa sebagai badan legislatif  Badan Perwakilan Rakyat Daerah, wewenangnya adalah :
(a)    Kemerdekaan untuk mengadakan peraturanperaturan untuk kepentingan daerahnya (otonomi);
(b)     Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk menjalankan peraturanperaturan yang ditetapkan oleh Pemerintah itu (medebewind dan selfgovernment = sertantra dan pemerintahan sendiri);
(c)    Membuat peraturan mengenai suatu hal yang diperintahkan oleh undangundang umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu harus disyahkan lebih dahulu oleh pemerintah atasan (wewenang antara otonomi dan selfgovernment).

Pada masa berlakunya UU No.1/1945, otonomi yang diberikan kepada Daerah adalah otonomi Indonesia yang lebih luas dibandingkan pada masa Hindia Belanda. Pembatasan terhadap otonomi itu hanyalah agar tidak bertentangan dengan peraturan Pusat dan Daerah yang lebih tinggi.(CST Kansil;1979;37}

Sedangkan alat kelengkapan (organ) Pemerintahan Daerah ada tiga (meskipun tidak dinyatakan secara tegas), yakni :
(1)    KNID sebagai DPRD Sementara yang bersamasama dan dipimpin Kepala Daerah menjalankan fungsi legislatif.
(2)     Badan (terdiri dari sebanyakbanyaknya 5 orang) yang dipilih dari dan oleh anggota KNID sebagai "Badan Eksekutif" bersamasama dan dipim-pin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan seharihari (dibidang otonomi dan tugas pembantuan).
(3)    Kepala Daerah yang diangkat oleh Pemerintah Pusat menjalankan urusan pemerintahan Pusat di daerah, kecuali urusan-urusan yang dijalankan oleh kantorkantor Departemen di daerah.

Berdasarkan hubungan kelembagaan dari alat perlengkapan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 1/1945 itu, maka nyatalah adanya dualisme kekuasaan eksekutif yang menimbulkan persoalan-persoalan dalam lapangan pemerintahan di daerah. Keadaan ini pula yang menjadi salah satu dasar untuk memperbaharui UU No. 1/1945, yakni dengan diundangkannya UU No. 22/1948. Penjelasan Umum UU. No. 22/1948 menyebutkan:

"Pemerintahan daerah pada sekarang ini masih merupakan dualistis, yang kuat, oleh karena di samping Pemerintahan Daerah yang berdasarkan perwakilan rakyat (Dewan Perwakilan Daerah dan Badan Eksekutifnya, yang termasuk juga Kepala Daerahnya), terdapat juga pemerintahan yang dijalankan oleh Kepalakepala Daerah sendiri, dan pemerintahan ini mengambil bagian yang terbesar di daerah. Maka Pemerintahan daerah yang serupa itulah yang merupakan pemerintahan dualistis, dan kuat, sehingga tidak sesuai lagi dengan pemerintahan yang berdasarkan demokrasi, sebagai tujuan revolusi kita. Dengan undangundang baru inilah pemerintahan dualistis akan dihindarkan."


Memperhatikan UU No. 22/1948 secara keseluruhan, maka UU ini bermaksud hendak memberi isi pada Pasal 18 UUD 1945 dan meletakkan dasar:
a)    Untuk menyusun pemerintahan Daerah dengan hak otonomi yang rasional sebagai jalan untuk mempercepat kemajuan rakyat di daerah;
b)    Untuk mengadakan tiga tingkatan Daerah dengan tugas dan kewenangan yang pada pokoknya diatur dalam suatu undangundang;
c)    Untuk memodernisir dan mendinamisir pemerintahan desa dengan menetapkan desa sebagai Daerah Tingkat III;
d)   Untuk menghilangkan pemerintahan di daerah yang dualistis, dengan menetapkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah sebagai instansi pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan Kepala Daerah diberi kedudukan sebagai Ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah, dan tidak lagi menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);
e)   Untuk memungkinkan Daerah-daerah yang mempunyai hakhak asalusul di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri, dibentuk sebagai Daerah Istimewa. (Wajong;1975;37)

Selanjutnya UU No. 22/1948 bermaksud menghapus Pamong Praja dan memberikan otonomi sebanyak-banyaknya (UU ini belum mempergunakan istilah otonomi "seluas-luasnya") kepada Daerah (lihat Penjelasan angka III, UU No. 22/1948). Istilah sebanyak-banyaknya mengandung arti beraneka ragam urusan pemerintahan sedapat mungkin akan diserahkan kepada daerah. Otonomi Daerah akan mencakup berbagai urusan pemerintahan yang luas. Sehingga, pengertian otonomi "sebanyak-banyaknya" pada dasarnya sama dengan "otonomi seluas-luasnya". Dalam hubungan ini UU No. 22/1948 meletakkan titik berat otonomi pada Desa dan daerah lain setingkat Desa, dengan dasar pemikiran Pasal 33 UUD 1945.
Segi lain yang membedakan pengaturan pemerintahan daerah antara UU No. 1/ 1945 dengan UU No. 22/1948 adalah dalam hal bentuk Pemerintahan di Daerah. UU No. 1/1945 membedakan dua macam bentuk pemerintahan tingkat daerah, yakni satuan Pemerintahan Daerah Otonom dan satuan Pemerintahan Administratif. Sedangkan UU No. 22/ 1948 hanya mengenal satu macam bentuk satuan pemerintahan tingkat daerah, yakni satuan Pemerintahan Daerah Otonom. Dengan kata lain sistem pemerintahan yang diatur UU No. 22/1948 hanya sistem pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dan medebewind. Penjelasan Umum UU No. 22/1948 menyebutkan bahwa Pemerintahan Daerah terdiri :
a.      Pemerintahan Deerah yang disandarkan pada hak otonom, dan;
b.      Pemerintahan Daerah yang disandarkan pada hak medebewind.
           
Akan tetapi ide yang terkandung dalam UU No. 22/1948 tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan atau tidak terwujud sepenuhnya dalam prakteknya karena pada saat berlakunya UU ini, tentara Belanda kembali melanjutkan aksi militernya ke-II.
Pada akhirnya dengan tercapainya persetujuan Konperensi Meja Bundar 27 Desember 1948, Republik Indonesia hanya berstatus Negara Bagian yang wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera (minus Sumatera Timur) dan Kalimantan, yang karena itu pula UU No. 22/1948 tidak dapat diberlakukan sepenuhnya di seluruh nusantara. Meskipun demikian, dalam UU No. 22/1948 setidaknya terdapat beberapa hal-hal pokok sebagai berikut:

a.     Cita "ketunggalan" yaitu untuk semua jenis dan tingkatan daerah diperlakukan satu UU pemerintahan daerah yang sama. Ini akan memupuk rasa kesatuan antara daerah-daerah otonom di seluruh Indonesia. Bagi Pemerintah Pusat sendiri juga memudahkan dalam menjalankan tindakan-tindakan yang seragam Pada masa Hindia Belanda dan pendudukkan Jepang terdapat pluralisme dalam perundang-undangan desentralisasi.
b.     Cita "persamaan" antara cara pemerintahan di Jawa/Madura dengan luar pulau tersebut. Ini akan menghilangkan rasa iri hati karena seolah-olah dianak tirikan yang terdapat pada wilayah di luar Jawa/Madura.
c.     Penghapusan dualisme dalam Pemerintahan Daerah, yaitu UU No. 22/1948 dicita-citakan agar Daerah tidak akan berlangsung terus pemerintahan yang dijalankan oleh pamong praja.
d.     Cita desentralisasi yang merata di seluruh wilayah negara Republik Indonesia akan terdiri atas Daerah-daerah otonom diluar itu tidak ada wilayah yang mempunyai kedudukkan lain.
e.   Pemberian otonomi dan medebewind yang luas, sehingga rakyat akan dibangunkan inisiatifnya untuk memajukan Daerahnya.
f.     Pemerintahan Daerah yang demokratis, yaitu susunan aparatur Daerah yang dipilih oleh dan dari rakyat. Ini akan mendidik rakyat kearah kemampuan memerintah diri sendiri serta penghargaan terhadap kebebasan dan tanggung jawab.
g.    Pemerintahan kolegial. Soalsoal pemerintahan tidak akan lagi diputuskan oleh seorang tunggal, melainkan oleh sekelompok orang atas dasar permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
h.    Cita mendekatkan rakyat dan Daerah tingkat terbawah dengan pemerintah Pusat. Kalau pada masa lampau tata jenjang kepamongprajaan dari lapisan terbawah sampai teratas melalaui tidak kurang dari lima tingkat (desa, kecamatan, kewedanaan, dan seterusnya), maka susunan Pemerintahan Daerah yang baru hanya mengenal 3 tingkatan Daerah. Ini memudahkan pembinaan dan pembimbingan Daerah tingkat terbawah oleh Pemerintah Pusat.
i.     Cita pendinamisan kehidupan desa dan wilayahwilayah lainnya yang sejenis dengan ini. Untuk memajukan negara dan memakmurkan rakyat Indonesia, desa harus dijadikan sendi yang kokoh dan senantiasa bergerak maju. Pada masa lampau desa dan wilayahwilayah lainnya yang sejenis ditaruh di luar lingkungan pemerintahan modern dan dibiarkan hidup dalam alamnya sendiri yang statis.
j.     Cita pendemokrasian pemerintahan zelfbesturende landschappen. Kerajaan-kerajaan warisan masa lampau dengan sifatnya yang otokratis dan feodal dijadikan bagian dari wilayah RI yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sesuai dengan asasasas yang dianut oleh negara.

Pada tanggal 17 Agustus 1950 terjadi perubahan ketatanegaraan, dimana Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 131 UUDS 1950, maka bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang didesentralisasikan. Dengan adanya perubahan ketatanegaraan itu, maka UU No. 22/1948 tidak berlaku lagi, dan digantikan UU No. 1/1957.UU No. 1/1957 hanya mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah yang didasarkan pada asas desentralsiasi. Pengaturan demikian sesuai dengan Pasal 131 dan Pasal 132 UUDS 1950 yang hanya mengenal satu jenis pemerintahan di daerah, yakni Daerah Otonom. Di samping itu sistem otonomi yang dianut adalah otonomi riil. Sistem otonomi yang didasarkan pada faktor-faktor, bakat, kesanggupan dan kemampuan yang riil dari Daerah-daerah maupun Pusat, serta bertalian dengan pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi (Pasal 131 ayat (3) UUDS 1950). Untuk melaksanakan sistem ini, dalam undang-undang pembentukan Daerah ditetapkan urusan tertentu yang segera dapat diatur dan diurus oleh Daerah sejak pembentukan Daerah tersebut. Di samping itu masih terdapat pengertian ajaran rumah tangga yang formal dengan metode pekerjaan Daerah yang hirarkhis.
Dalam Pasal 5 UU No. 1/1957 dengan tegas disebutkan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintahan Daerah. Susunan ini serupa dengan UU No. 22/1948, karena bertujuan sama yaitu mewujudkan Pemerintahan Daerah yang kolegial dan demokratis. Berbeda dengan keadaan sebelumnya (UU No. 1/1945) bahwa Pemerintah Daerah itu terdiri dari DPRD (dalam hal ini Komite Nasional Daerah), Dewan Pemerintahan Daerah dan Kepala Daerah. Susunan Pemerintahan Daerah model UU No. 1/1945 menimbulkan Pemerintahan Daerah yang dualistik.(Laporan penelitian; FH Unpad;51) Hal ini yang ingin dihilangkan UU No. 22/1948 dan UU No. 1/1957.Meskipun Kepala Daerah berdasarkan UU No. 1/1957 hanya semata-mata sebagai Kepala Daerah, tetapi tidak berarti dualisme pemerintahan tidak ada. Jika dalam UU No. 1/1945 dan UU No. 22/1948 dualisme itu ada pada satu jabatan (dalam diri satu orang) yaitu Kepala Daerah, maka dalam UU No. 1/1957 dualisme pemerintahan itu ada pada dua orang yang berbeda. Bidang pemerintahan umum ada ditangan Pamong Praja, sedangkan bidang otonomi dan tugas pembantuan (medebewind) ditangan Pemerintah Daerah (lihat Penjelasan Umum Penpres No. 6/1959).
Setelah kembali ke UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan jiwa dan semangat UUD 1945, termasuk ke dalamnya penyesuaian peraturan perundang-undangan mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam hubungan inilah ditetapkan Penpres No. 6/1959 sebagai penyempurnaan atas UU No. 1/1957. Berbagai gagasan dasar dalam UU No. 1/1957 tetap dipertahankan seperti prinsip pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Daerah, termasuk mengenai susunan Daerah Otonom. Perubahan yang mendasar adalah:
1)   Trend memperkokoh unsur desentralisasi yang digariskan sejak tahun 1948 berganti kearah yang lebih menekankan pada unsur sentralisasi. Misalnya, pengangkatan Kepala Daerah lebih ditentukan oleh kehendak pusat dari pada Daerah. Presiden diberi wewenang mengangkat Kepala Daerah diluar calon yang diajukan oleh Daerah.
2)   Kepala Daerah tidak lagi semata-mata sebagai alat Pusat yang mengawasi Pemerintahan Daerah. Bahkan secara beransur-ansur Kepala Daerah lebih tampak sebagai Wakil Daerah dari pada sebagai pimpinan Daerah.
3)   Dihapuskannya dualisme Pememerintahan di Daerah yang memang terasa mengganggu kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah.(Bagir Manan; perjalanan historis;32)

Penpres No. 6/1959 dimaksudkan untuk menyempurnakan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah agar sesuai dengan isi dan jiwa UUD 1945, tetapi penggerogokan terhadap prinsip-prinsip otonomi, yakni dengan dikeluarkannya Penpres No. 5/1960. Dimana DPRD hasil pemilihan umum dibubarkan, dan dibentuk DPRD-GR yang seluruh anggotanya diangkat. Kepala Daerah menurut Penpres ini adalah Ketua DPRD.Walaupun Penpres No. 6/1959 dimaksudkan untuk menyempurnakan UU No. 1/ 1957, namun pengaturan Pemerintahan Daerah dengan Penpres itu sendiri sesungguhnya juga tidak sejalan dengan UUD 1945. Pasal 18 UUD 1945 menghendaki pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah ditetapkan dengan UndangUndang, dan bukan dengan Penpres. Dalam hubungan inilah kemudian ditetapkan UU No. 18/1965 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.Satu hal penting dari kelahiran UU No. 18/1965 ialah bahwa secara keseluruhan UU ini meneruskan "politik otonomi" yang telah diatur dalam Penpres No. 6/1959 dan Penpres No. 5/1960, kecuali mengenai hubungan Kepala Daerah dengan DPRD.
Perubahan yang fundamental dari UU No. 18/1965, jika dibandingkan dengan UU terdahulu mengenai organ Pemerintah Daerah, yaitu :
a)    tidak dirangkapnya lagi jabatan Ketua DPRGR Daerah oleh Kepala Daerah.
b)   dilepaskannya larangan keanggotaan pada sesuatu partai potik bagi Kepala Daerah dan anggota BPH.
c)    tidak lagi Kepala Daerah didudukan secara konstitutif sebagai sesepuh daerah.

Selanjutnya UU No. 18/1965 hanya mengatur mengenai pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi. Istilah Propinsi, Kabupaten dan Kecamatan dan sebagaimana halnya dengan istilah Kotaraya, Kotamadya, dan Kotapraja merupakan istilah teknis, yang dipergunakan  untuk menyebut jenis daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Dengan kata lain istilah Propinsi dan sebagainya itu bukan nama Daerah Administratif.  
Penetapan UU No. 18/1965 yang diharapkan dapat membawa perubahan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah untuk mencapai tertib pemerintahan Daerah di Indonesia berdasarkan UUD 1945, dalam prakteknya juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya sebagaimana dianut UU No. 18/ 1965 dipandang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini tercemin dari TAP MPRS No.XXI/ MPRS/1966 yang antaranya menghendaki peninjauan kembali UU No. 18/1965. Prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya bukan hanya tidak dilaksanakan, tetapi dipandang dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang membahayakan keutuhan negara kesatuan dan tidak serasi dengan tujuan pemberian otonomi yang digariskan GBHN.
Dengan demikian, kelahiran UU No. 5/1974 setidak-tidaknya dilatar belakangi oleh hal yang diutarakan di atas, terutama berkaitan dengan prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah. Sehingga UU No. 5/1974 menganut prinsip pemberian otonomi kepada Daerah bukan lagi berupa "otonomi yang seluas-luasnya", melain "otonomi yang nyata dan bertanggung jawab".Satu sisi yang amat penting dari UU No. 5/1974 adalah bawah UU ini tidak semata-mata mengatur pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi (otonomi dan tugas pembantuan), tetapi juga dekonsentrasi.Ditinjau dari sudut pola hubungan antara Pusat dan Daerah, UU No. 5/1974 berada dalam garis yang sama dengan pola yang dirintis dan dilaksanakan sejak tahun 1969. Unsur-unsur sentralisasi lebih menonjol dari unsur desentralisasi. Di samping itu dalam rangka pemberian otonomi kepada Daerah, UU No. 5/1974 meletakkan titik berat Otonomi Daerah pada Daerah Kabupaten/Kotamadya.Dari pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah dalam berbagai undang-undang sebagaimana telah diutarakan maka dapat dikemukakan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah memperlihatkan perbedaan-perbedaan baik sistem otonominya maupun corak pemerintahannya. Meskipun undang-undang tersebut bersumber pada satu dasar penyusunanan yang sama yakni Pasal 18 UUD 1945 (kecuali UU No. 1/1957).
UU No.5 Tahun 1974 yang berlaku selama puluhan tahun (1974-1999) boleh disebut sebagai undang-undang pemerintahan daerah yang paling lama berlakunya dibanding undang-undang yang pernah ada sebelumnya. Keberadaan UU No 5 Tahun 1974 itu yang begitu lama berlaku tentu saja sangat berpengaruh bagi keberadaan daerah otonom di Indonesia, meskipun dalam perjalanannya kemudian digugat sebagai pengaturan bagi daerah otonom, namun nuansa sentralisasi lebih kuat atau sangat dominan dibanding nuasa desentralisasinya. Keberadaan undang-undang No 5 Tahun 1974 belakangan dipahami oleh banyak kalangan sebagai undang-undang yang erat kaitannya dengan pemerintahan Orde baru yang sentralistik dan otoriter. Tetapi apa pun itu, suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa UU No 5 Tahun 1974 telah memberikan warna dan pengaruh yang kuat terhadap karakteristik pemerintahan daerah dan penyelengaraannya, termasuk terhadap para penyelenggaranya. Salah satu dampak yang sampai saat ini masih bisa dilihat adalah lemahnya inisiatif daerah (pemerintah daerah) dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai inti dari otonomi daerah.

2.4 Otonomi Daerah Pasca Reformasi.

Bergulirnya era reformasi di tahun 1998, dimana soal otonomi daerah menjadi salah satu tuntutan pokok dari reformasi. Alhasil dari tuntutan reformasi itu lahirlah UU No.22 Tahun 1999 dan sekaligus mengakhiri orde otonomi daerah  model UU No.5 Tahun 1974 yang sangat sentralistik .Perubahan akan otonomi daerah  terlihat jelas dari petimbangan  UU No.22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti. Mengenai ketidak sesuaian dari UU No.5 Tahun 1974 itu dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah diuraikan atau tergambar secara panjang lebar dalam penjelasan UU No.22/1999.Apabila dicermati UU No.22/1999 terdapat banyak perbedaan yang sangat prinsip serta sekaligus sebagai perbedaan yang fundamental dibanding dengan UU No.5/1975. Hal ini antara lain;

Pertama, dipisahkannya dengan tegas antara Kepala Daerah dengan DPRD. Artinya, bila dalam UU No.5/1974 keberadaan DPRD tercakup dalam lingkup pengertian “Pemerintah Daerah”, dalam UU No 22/1999 ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah itu hanya Kepala Daerah dengan perangkar daerah lainnya dan disebut dengan eksekutif daerah. Dalam konteks “Pemerintah Daerah”, dirumuskan terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD, sedangkan sebelumnya antara Kepala Daerah dan DPRD berada dalam lingkup “Pemerintah Daerah”, sehingga ada kerancuan DPRD ditempatkan sebagai bagian dari eksekutif daerah.

Kedua,  ditempatkannya Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Artinya tidak ada lagi daerah administrative atau yang sebelumnnya disebut dengan pemerintahan wilayah pada tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana adanya pada UU No.5/174.

Ketiga, dijadikan Daerah Propinsi dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Keempat, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.

Kelima, berdasarkan UU No.22/1999 pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Artinya penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas dekonsentrasi hanya padatingkat Propinsi.

Keenam, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD dan DPRD dapat memberhentikan Kepala Daerah apabila DPRD menolak pertantanggungjawaban Kepala Daerah.

Ketujuh, adanya pembagian kewenangan yang tegas antara Propinsi dengan Kabupaten Kota. 
Kedelapan, Kepala Daerah baik gubernur maupun bupati/walikota dipilih oleh DPRD, sedangkan sebelumnya Kepala Daerah diangkat oleh Presiden atas usul DPRD.

Beberapa hal yang dikemukakan di atas hanya sebagian saja  dari perbedaan yang fundamental penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai implementasi dari dianutnya asas desentralisasi di Indonesia dibanding era sebelum reformasi. Ada banyak hal  perubahan yang fundamental dalam penyelenggaraan otonomi daerah dari UU No.5/1974 ke UU No.22/1999, termasuk ke dalam hal ini diperkenalkannya otonomi khusus oleh UU No.22/1999. Sementara di bawah UU No.5/1974 hanya dikenal Daerah khusus yang secara subtansial memiliki perbedaan mendasar dengan otonomi khusus.Singkat kata, dengan diundangkannya UU No.22/1999 sebagai pengganti UU No.5 Tahun 1974 harus diakui telah memberikan “gairah” dan darah baru bagi penyelenggaraan otonomi daerah.eforia otonomi daerah dengan segala dinamikanya terlihat jelas di daerah-daerah. Meskipun kemudian, gairah otonomi daerah yang meningkat luar biasa itu melahirkan berbagai masalah yang tidak diduga sebelumnnya dan kemudian mendorong tumbuhnya pemikiran serta gagasan untuk merevisi UU No.22/1999.
Gagasan untuk merevisi UU No.22/1999 itu pun kemudian direalisasikan yakni dengan diundangkannya UU No.32 /2004.  Revisi atas UU 22/1999 yang hanya baru beberapa tahun itu sekaligus menunjukkan soal otonomi daerah bergantung pada “selera” politik dan kekuasaan. Meskipun dalam penjelasan UU No 32/2004 diangkat beberapa alasan untuk melakukan perubahan UU No 22/1999 berupa Tap MPR dan perubahan UUD 1945 tetapi secara subtansial revisi atas UU No 22/1999 lebih cenderung dilatar belakang politis melihat apa yang berkembang pada penyelenggaraan otonomi daerah dibawah UU No 22/1999. Hal ini dengan mudah bisa ditunjukkan,  yakni dengan memperhatikan rumusan otonomi daerah dari kedua UU tersebut. Dalam UU No.22 /1999 otonomi daerah diartikan sebagai;

 “Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Rumusan terhadap otonomi daerah yang dalam UU No 22/1999 diawali dengan frase “otonomi daerah adalah kewenangan daerah…. “, tetapi tidak demikian halnya dengan otonomi daerah dalam UU No.32/2004 yang menyebutkan;

 “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Dari perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah antara UU No 22/1999 dan UU No.32/2004 itu mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada sejumlah UU yang mengatur tentang pemerintahan daerah sebelum reformasi yang senantiasa memberikan rumusan terhadap otonomi daerah yang berbeda-beda antara satu undang-undang dengan undang yang lainnya. Pengertian otonomi daerah dalam UU No 32 Tahun 2004  sepertinya mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam UU No 5 Tahun 1974. Dalam hubungan ini UU No 5 Tahun 1974 menyebutkan; “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Dengan adanya perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah pada UU No 32 Tahun 2004 tersebut dan sepertinya nyaris mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam UU No 5 Tahun 1974 lagi-lagi memperlihatkan betapa soal otonomi daerah selalu terseret arus politik dan kekuasaan. Hal ini sekaligus memperlihatkan adanya gerakkan menjauh dari makna pemberian otonomi kepada daerah yang utamanya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat daerah, tetapi otonomi daerh lebih cenderung dibangun dibawah kepentingan politik dan kekuasaan.
Pada tahun-tahun mendatang, soal otonomi daerah belum akan berakhir dan masih akan dihadapkan pada situasi seperti yang terjadi selama ini. Bahkan beberapa waktu belakangan  kembali bergulir ide dan gagasan untuk mengganti atau merevisi (merubah) UU No 32 Tahun 2004. Dampaknya jelas, pemerinatahan yang kuat dan stabil seperti masih merupakan sesuatu yang jauh dari harapan. Dalam konteks ini, adalah suatu yang mustahil mengharapakan adanya pemerintahan daerah yang kuat dan mempu dengan optimal mewujudkan masyarakat daerah yang sejahtera bila sistem dan model pemerintahan selalu berganti-ganti tiap sebentar.




2.5 Otonomi Daerah diIndonesia Saat Ini

Sejak reformasi di gulirkan dan menguknya konsep otonomi daerah sebagai bentuk kritikan  terhadap pengelolaan pemerintahan pada zaman ordebaru yang dinilai pemerintahan yang sangat sentralistik yang kesemuanya dikomandoi atau segalah urusan dinakodai pemerintah nasional atau pusat sehingga daerah atau sub nasional tidak memiliki peranan yang berarti dalam pengolaha pemerintahan. Tak terkecuali urusan pemerintahan yang bersifat tekhnis dimana jakarta menjadi aktor penentu, meskipun jauh sebelum adanya otonomi daerah telah ada kritikan tentang pengelolaan pemeritahan yang seperti itu dengan anggapan bahwa keputusan yang diambil tidak tepat sasaran dengan apa yang diharapkan di daerah , Setidaknya dalam hal pengelolaan negara tersebut, substansinya berada pad rana Horisontal atau yang mana terkait dengan fungsi serta vertikal yaitu struktur penyelanggara pemerintahan seperti pemerintahan nasional atau pusat,  daerah atau sub nasional. Dimana batasan batasan fungsi atau wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta hubungan diantaranya dalam mengelolah pemerintahan.
Setidaknya kalau  kita melihat kondisi yang terjadi saat ini yang menarik untuk kita simak, fenomena yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri, kita melihat Masyarakat terklasterisasi suku, wilayah yang dicontohkan oleh wawan mas’udi adanya sub teritorial contoh dapat dilihat pada struktur Tentara Nasional Indonesia TNI yang kesemuanya tersusun sampai pada tingkatan desa, tingkatan yang ada di bawah. adanya pemerintah pusat dan daerah provinsi dan kabupaten kota dan bahkan sampai pada tingkatan yang paling bawah yaitu tingkatan desa. Penyelenggaraan diharapkan berjalan dengan baik sehingga sangat dimungkinkan terjadinya pembagian kekuasaan atau kewenangan mengelolah pemerintahan, hal tersebut di setiap negara di dunia tidak semua memiliki cara yang sama dalam mengelolah pmerintahanya, pembagian kekuasaan setidaknya yang sering kita dengarkan bahwa ada dua sumber otoritas, yaitu ada pada pemerintah nasional dan otoritas ada pada pemerintah sub nasional atau masyarakat. Dalam mempersatukan antara pemerintah pusat dan pemerintah yang ada di daerah memiliki cara yang berbeda meskipun dengan tujuan yang sama, dalam hal ini setidaknya ada dua bentuk negara yang dihasilkan, yaitu negara kesatuan dan negara liberal. Yang mana negara kesatuan danlam mempersatukan dengan cara sepenuhnya otoritas berada pada pemerintah pusat. Sehingga menganggap bahwa negara ini dapat disatukan dengan cara semua urusan pemerintahan yang ada semua di komandoi oleh pemerintah pusat, dan hal ini pula yang terjadi di indonesia pada pemerintahan orde lama dibawak kepemimpinan presiden soeharto, yang sangat terkenal dengan bentuk pemerintahan yang sangat sentralistik atau terpusat, segala urusan pemerintahan jakarta menjadi tumpuan., sedangkan negara federal kekuatan atau otoritas hanya berada pada pemerintah negara bagian. Wawan mas’udi mencontohkan hal tersebut pada penyelenggaraan pemerintahan yang ada di America. Dengan negara liberal dianggap sebagai cara yang sangat tepat dalam mempersatukan dengan cara pemberian kewenangan penuh terhadap pemerintahan negara bagian yang ada, dan beranggapan bahwa penyelanggaraan pemerintahan dengn cara sentralistik yang terpusat justru tidak melahirkan persatuan akan tetapi peluang melahirkan perpecahan dan konflik yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah, dan dianggap ancaman terhadap sebuah persatuan.
Hubungan pemerinta pusat dan daerah bukanlah permasalahan yang baru di indonesia akan tetapi problem masalalu yang hingga saat ini belum terselesaikan, meskipun waktu yang lebih dari cukup telah terlewati akan tetapi bukan berarti tidak ada usaha sama sekali dalam menangani masalah tersebut. Telah banyak usaha yang dilakukan pemerinta walhasil sampai saat ini belum kunjung terselasaikan, permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah telah banyak undang-undang yang mengatur sampai saat ini ternyata tidak kunjung terselesaikan juga, pemerintahan yang sentralistik maupun pemerintahan yang demokratis telah di praktekkan di negri ini yang tentunya melahirkan berbagai pandangan dan penilaian masing-masing. Seperti adanya anggapan bahwa Pemerintaha yang sentralistik dinilai mambuat masyarakat menjadi apolitis.
Pada beberapa titik wilayah yang ada di indonesia begitu banyak yang menyuarakan aspirasi daerahnya, sehingga tuntutan masyarakat tentang pemekaran wilaya yang sangat  luar biasa terjadi di beberapa daerah, atasnama memperjuangkan aspirasi rakyat, kemudahan administrasi  yang hendak di perjuangkan hingga saat ini adanya upaya pemerintah mengevaluasi beberapa daerah hasi lepemekaran. Dalam fenomena tersebut bahwa ternyata Hal menarik lainya yang dapat kita saksikan, sebagai dampak dari otonomi daerah dan terjadinya pemekaran wilayah di berbagai daerah yaitu pada pembagian wilayah yang ada di indonesia bukanlah pembagian administratif tapi pembagian klaster poliitik, pada dasarya pemekaran wilayah yang terjadi di berbagai daerah yang ada di indonesia semangatnya telah berubah denga derajat yang sangat tinggi, diman pada setiap pemekaran yang ada bukan lagi terletak pada aspek administrasi, tapi pada semangat suku.  Dapat diliha pada penyelenggaraan pemerintahan yang ada di berbagai wilaya di indonesia. Wawan mas’udi dalam hal ini mencontohkan pemerintahan antara yogyakarta dan Jawatengah. Kalau di sulawesi tengah dapat diliha pada kasus yang terjadi di kabupaten bungku  dan kolonedale kabupaten morowali.
Jikalau pembagian dengan di dasarkan pada admionistratif, maka dapat dipastikan sangat banyak daerah yang tidak layak atau tidak memenuhi untuk menjadi suatu daerah yang otonom, kondisi demikianlah yang terjadi di indonesia saat ini, Dalam pemerkaran wilayah yang ada di indonesia ada sebenarnya ada unsur politk didalamnya, pemekaran daerah yang ada tidak lagi terletak pada substansinya, banyaknya tantangan yang di hadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah tentunya membutuhkan perhatian

pemerintah dalam hal tersebut, bebrapa kabar terdengar pada akhir-akhir ini bahwa otonomi daerah akan di evaluasi, respon pemerintah tersebut dengan melakukan pembentukan evaluasi terhadap pelaksanaanya, dan kabar terakhir yang kita dengarkan bahwa tim tersebut telah terbentuk seperti yang diberitakan pada, (kompas) sabtu 09 januari 2010.
Pemerintahan yang sentralistik dinilai berbenturan dengan karakteristik yang ada di daerah, di setiap daerah yang ada di indonesi memiliki karakter yang berbeda, baik daris segi potensi wilyah yang ada di indonesia maupun dari segi kultur yang ada di masyarakat sehingga sangat dimungkingkan terjadinya perbedaan kebutuhan yang ada di daerah sehingga ada yang beranggapan bahwa pemerintahan yang ada di daerah seharusnya memperhatikan kearifan lokal yang ada di daerah, sehinggga dalam pembangunan yang ada karakter daerah tetap dipertahankan, disamping itu kebijakan yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan yang ada di daerah, terlebih dengan kondisi indonesia yang plural. Disamping itu ada anggapan bahwa bahwa untuk membangun negara menjadi maju pemerintahan yang sentralistik juga bisa mewujudkanya, wawan mas’udi memberikan gambaran Di eropa dengan pemerintahan sentralistik juga manjadi negara maju akan tetapi sangat berbeda dengan kondisi yang ada di indonesia di eropa masyarakatnya homogen, di indonesia masyarakatnya yang plural sehingga sangat rentang terhadap konflik dan perbedaan, isu yang mungkin sering kita dengar pada dekade tarakhir ini yaitu isu daerah.
Pemekaran daerah yang marak pada dekade terakhir ini hingga pemekaran di pertanyakan mengedepankan pelayanan bukankan pemekaran adalah sebuah bentuk pembagian kekuasaan para elit politik, yang mana pemekaran dapat digambarkan sebagai pembagian kekuasaan dari elit pusat yang ada di jakarta, kepada elit lokal yang ada di daerah yang mana otonomi daerah tidak lagi pada substansinya, sehingga desentralisasi yang menjadi pilihan saat ini tidaklah bersifa final bisa saja akan mengalami perubahan, terlebih dengan yang ada di indonesia setiap rezim memperlakukan pola yang berbeda beda dalam menjalangkan pemerintahan, Desenralisasi hanyalah sebagai bentuk atau pola transfer otority kepemerintah sub nasional yang ada di daerah. Disamping itu dalam implementasi otoritas atau penyelenggaraan pemerintahan perlu ada kontrol yang baik terhadap proses pelaksanaan pemerintahan.
Terkait dengan otoritas antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi ada fenomena menarik yang kita liat dimana dengan otonomi daerah yang ada, memberikan otoritas yang besar berada pada pemerintahan yang ada di kabupaten, sehingga koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah yang ada di kabupaten sering terkandala, dimana pemerintah kabupaten menganggap bahwa otoritas melekat pada dirinya sangat besar, sehingga enggan tunduk pada pemerintah provinsi dan bahkan pemerintah yang ada di kabupaten membetuk kekuatan sendiri wawan pada perkuliahan yang lalu mencontohkan pada kasus pemerintah di merauke.
Kondisi yang terjadi di iondonesia saat ini yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah sebuah permasalahan yang cukup serius, setidaknya ada beberapa motif yang melatarbelakangi seperti, keterjangkauan, efisiensi (hal yang strategis) keamanan dan ekonomi. Dalam implementasi otonomi daerah setidaknya harus memperhatikan persoalan keterjangkauan, terutama dari segi pelayanan terhadap masyarakat, yang terkait pada persoalan wilayah dan tata letak, persoalan efisiensi yang terkait dengan persoalan biaya, jarak. Hal tersebut yang harus mendapat perhatian besar dalam pelaksanaan otonomi daerah disamping dua hal yang strategis keamanan dan ekonomi yang juga harus mendapat perhatian. Disamping hal tersebut diatas indonesia juga harus memikirkan hal yang strategis, terutama pemerintah yang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini pemerintah pusat yang memiliki urusan yang terlau banya sehingga tidak satupun yang terselesaikan dengan baik, pusat mengurusa sampai pada urusan yang bersifat tekhnis yang ada di daerah. Pemerintah seharusnya memikirkan yang strategis dan terfokus. Dengan hal tersebut tujuan dapat tercapai.
Hal yang sama sepertinya mulai terulang lembali, kalau kita memperhatikan pengelolaan pemerintahan yang ada saat ini ada usaha untuk sentarlisasi kembali meskipun dengan cara yang berbeda sentarlisasi yang berbeda pada orde baru, menurut wawan mas’udi sentralisasi yang ada pada saat ini berada pada sofwer, mencontohkan pada penganggaran. Disadari atau tidak bahwa watak dasar pemerintah di indonesia adalah sentralistik, sehingga upaya pengelolaan pemerintahan yang sentralistik bisa saja terjadi, meskipun pada konsep otonomi daerah.
Demokrasi yang ada di indonesia adalah demokrasi liberal, seperti yang ada di america bukan lagi demokrasi pancasila sebagai contoh pada pemilihan presiden dan wakil presiden dengan cara one man one vote masyarakat bisa menentukan siapa yang menjadi pemimpin mereka. Hal ersebut kritikan terhadap Pemilihan bupati melalui DPR yang di anggap  terjadi kolusi dan semuah yang dipilih DPR sangat mudah dijatuhkan.Kepercayan masyarakat semakin menurun, Kebaradaan partai politik yang selalu saja terjadi konflik internal, yang permasalahanya adalah persoalan kekuasaan , contoh yang terjadi pada dua orang anggota DPR dari partai bulan bintang (PBB) yang menentang kepemimpinan partainya karena yusril ihza mahendra memanipulasi jalanya muhtamar sehingga mampu menguasai kembali kepemimpinan partai tersebut. Akibatnya hartono marjono dan abdul kadir jaelani dikeluarkan dari fraksi PBB tetapi tidak dapat di recall karna UU No. 4 tahun 1999 tentang susunan kedudukan DPR/MPR tidak mengenal lembaga recall sebagaiman yang dikenal sebelumnya. Sehingga demikian tidak bisa lagi diberi kepercayaan dan amanah












BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

            Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berbicara mengenai perjalanan dan perkembangan otonomi (pemerintahan) daerah di Indonesia dengan segala aspeknya seperti mengurai suatu ”kisah” yang sangat panjang. Bahkan  mungkin tidak banyak lagi publik yang mencoba mereviewnya, kecuali bagi kalangan peneliti atau untuk keperluan studi. Secara praktis tentu hal itu tidak jadi masalah, karena kebijakan  mengenai otonomi daerah dari suatu regulasi yang sudah tidak berlaku lagi mungkin sudah kehilangan  manfaat. Namun  bagi keperluan mendapatkan suatu subtansi dan menemukan masalah-masalah disekitar implementasi otonomi daerah di Indonesia, maka menelusuri perjalanan otonomi daerah dari waktu  ke waktu sepertinya sangat penting. Apalagi sampai saat ini soal otonomi daerah di Indonesia masih mencari bentuknya yang ideal. Dalam perspektif ini, dengan menelusuri regulasi berkaitan dengan otonomi daerah setidaknya akan ditemukan mengapa kebijakan otonomi daerah di Indonesia  selalu berubah-ubah.



















DAFTAR PUSTAKA


Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas